Contoh Cerpen Remaja.siapa yang tidak mengetahui cerpen karya sastra satu ini sangat seru untuk dibaca kali ini saya memberi kalian Contoh Cerpen Remaja, yang dibuat oleh kawan sekelas saya sendiri Yaitu Alya Maghfira
Thanks Alya ,langsung aja ya :
Contoh Cerpen Remaja.
Contoh Cerpen Remaja.
Malam keajaiban
Aku
duduk terdiam di depan meja belajar. Mejaku menghadap jendela yang tertutup
hordeng putih. Perlahan, aku menyibakkan hordeng itu, dan aku disambut oleh
pemandangan langit malam dengan berjuta bintang. Aku melihat salah satu bintang
yang sinarnya paling terang di antara bintang-bintang lainnya.
Aku tak mau beranjak dari tempat
dudukku, meskipun sekarang saatnya jam tidur. Penaku menari-nari di atas
kertas, membentuk kata-kata yang penuh makna. Sebuah motivasi. Kata-kata
motivasi pertama yang kubuat sendiri. Biasanya, selalu dia yang memberiku
motivasi. Tapi, sekarang tak lagi. Malam Minggu kali ini adalah milikku.
Aku mengenalnya sekitar sebulan yang
lalu. Saat itu, kami masuk ke kelas yang sama, kelas menulis. Aku tak punya
teman sama sekali di kelas itu, begitu pula dengan dirinya. Jadi, kami mulai
berkenalan dan mengobrol seputar menulis.
“Oh, jadi, kamu pengen jadi penulis
terkenal di dunia?”
“Ya,” ujarnya mantap. “Dengan itu,
aku akan mengguncang dunia dengan tulisan-tulisanku!”
Aku pun tertawa begitu melihat
ekspresi lucunya. Entah kenapa, setiap kali dia bersemangat, ekspresi
semangatnya begitu lucu di mataku. Dan dia-lah orang yang pertama kali
membuatku tertawa di sekolah ini.
“Oh ya, jangan lupa, nanti SMS aku!”
seruku padanya. Dia mengangguk.
“Oke… eh, siapa namamu? Sonia?”
Kali ini aku yang mengangguk.
“Mungkin kita bisa SMS-an setiap
malam Minggu,” ujarnya. “Aku hanya boleh menggunakan handphone setiap hari Sabtu dan Minggu.”
Ah, hanya setiap hari Sabtu dan
Minggu? Wajar saja, dia murid kelas unggulan. Setiap hari selalu belajar dan
belajar. Sementara aku, setiap hari malas belajar. Baru mau membuka buku saja
perutku sudah mual. Tak heran, aku selalu menempati peringkat terakhir di
kelasku. Anak-anak pun mulai menjauhiku karena aku dianggap bodoh dan tak
berguna di kelas. Betapa menyedihkan.
Dia pun mulai curhat denganku.
Jujur, aku senang karena dia sangat mempercayaiku. Dia bercerita tentang
kehidupannya yang penuh impian. Karena ambisinya untuk menjadi penulis terkenal
di dunia terlalu besar, dia sampai harus mengorbankan kebersamaannya dengan
teman-temannya. Dia mulai menarik diri dari teman-temannya dan berkutat dengan
tulisan-tulisan di laptopnya, yang belum dia publikasikan sama sekali.
“Lalu, sekarang kamu enggak punya
teman?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Ya, terkadang
ambisi bisa mengalahkan persahabatan.”
“Oh ya, aku juga mau curhat. Aku…”
TEEETTTTT……TEEETTTT…….
Bel pulang itu menghancurkan
pembicaraan kami. Akhirnya, aku menyandang tasku dan bersiap-siap pulang.
Begitu juga dengannya.
“Oke, Gama. Curhatnya kita lanjutkan
malam nanti. Nanti… malam Minggu, kan?”
“Ya,” ujarnya. “Sampai jumpa. Malam
nanti aka nada motivasi dariku.”
“Eh? Motivasi?” aku pun tertarik.
Motivasi. Sesuatu yang sangat kubutuhkan di dunia yang sulit ini. Dan aku akan
mendapatkannya nanti. Dari seorang Gama.
---***---
Malam itu, aku menunggu SMS darinya.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan kurang seperempat. Sambil menunggu SMS
darinya, aku mengetikkan cerpen di laptopku. Cerpen yang berkisah tentang
persahabatan empat remaja dalam sebuah tim.
Drrrttt….drrrttt….handphone-ku
bergetar. Mataku menangkap jam dinding yang tergantung di dekat jendela. Waktu
menunjukkan pukul sembilan malam tepat. Lalu, tanganku menyambar handphone yang tergeletak di samping
laptop dengan cepat. Ada SMS dari Gama.
Sonia,
tadi kamu mau curhat apa?
Entah
kenapa, tanpa kusadari bibirku menyunggingkan senyum. Aku pun membalas SMS-nya.
Aku curhat sepuasnya, tentang semangatku yang hilang ketika belajar. Setiap
belajar, aku tak pernah paham dengan isi buku yang kubaca. Semua isinya seperti
menggunakan bahasa alien.
Drrrttttt…..drrrrtttt….handphone-ku
bergetar lagi. Ada balasan dari Gama.
Jangan
putuskan semangatmu. Ambisi sifatnya tak terbatas, kalau kamu mau mewujudkan
itu, kamu harus bersungguh-sungguh. Ambisi bisa mengalahkan rasa malas.
Tunjukkan pada teman-temanmu kalau kamu bisa memimpin jauh di depan. Buka
bukumu, buatlah perubahan yang besar.
Aku
tersenyum. Motivasi pertamanya hari ini.
---***---
“Hei, awas!”
Aku menoleh ke belakang. Kulihat
Ena, gadis paling pintar di kelasku, menatapku tajam sambil berkacak pinggang.
Di belakangnya, ada ketiga temannya yang sedang tertawa-tawa kecil. Maya,
Natasha, dan Aya.
“Meja kantin ini khusus untuk murid-murid
pintar,” ujar Maya. “Jadi, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang.”
“Mustahil dia tahu,” Natasha
membetulkan kacamatanya. “Pemikirannya lamban.”
“Hei, bos menyuruhmu untuk pergi
dari sini! Kami mau duduk!” Aya dengan kasar menarik tanganku untuk segera
bangkit dari kursi yang kududuki. “Pergi!!!”
“Ayolah!” Si bos, Ena, menatapku
garang. “Pergi dari sini!”
“Enggak!” teriakku.
Keempat orang itu memelototiku.
Rahangku mengeras. Aku tak bisa diperlakukan seperti ini. Mereka pintar, tapi
tak punya hati. Mungkin saat inilah aku harus membela diriku.
“Tunggu! Aku mau menantangmu di
Ujian Tengah Semester nanti!!!” teriakku. Mendadak, situasi hening. Tak lama
kemudian, mereka tertawa.
“Hahaha…apa katanya?” Ena menatap
teman-temannya satu per satu. Aya hanya mengangkat bahu.
“Entahlah, aku enggak dengar,”
ujarnya.
“Ah, sudahlah!” aku melepaskan
tanganku dari tangan Aya dengan kasar. “Aku mau pergi. Lihat saja nanti! Aku
enggak bakal jadi anak bodoh lagi di mata kalian!”
Aku menatap mereka satu per satu
dengan tajam, kemudian bangkit dari kursi yang kududuki dan pergi meninggalkan
kantin. Di tengah jalan, aku berpapasan dengan Gama.
“Oh, hai Sonia,” sapanya. “Sekarang
hari Sabtu, ya. Nanti malam Minggu.”
“Jangan lupa dengan motivasinya, ya,
Motivator Malam Minggu,” aku tersenyum. Dia mengangguk.
“Ya. Tapi, kita saling curhat dulu.”
“Kamu ada masalah?”
“Ya. Masalah menghadapi Ujian Tengah
Semester. Kamu juga ngalamin hal yang sama, kan?”
Aku mengangguk. Kurasa, masalah
menghadapi UTS-ku jauh lebih buruk daripada dia.
---***---
Malam itu, aku kembali mendapatkan
motivasi darinya.
Semangat
untuk maju. Melakukan perubahan besar ke arah yang lebih baik. Percayalah pada
dirimu sendiri. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini.
Aku
kembali tersenyum.
Waktu berjalan dengan cepat, secepat
seekor kijang berlari. Tak terasa, UTS telah berlalu. Sore ini, menjelang
pulang sekolah, ada pembagian rapor bayangan. Bu Gita selaku wali kelas
membacakan nama-nama siswa yang mendapatkan nilai paling tinggi sampai nilai
paling rendah. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku terasa panas dingin. Aku
takut nilaiku akan berada di urutan terakhir lagi. Padahal, aku sudah belajar
dengan giat dan melakukan perubahan pada cara belajarku. Aku mengorbankan waktu
bermalas-malasanku dengan belajar.
Bu Gita terus membacakan nama-nama
siswa, sampai nama siswa yang nilainya berada di urutan kesembilan. Dan
sekarang urutan kesepuluh. Mungkin, urutan nilaiku akan jauh di bawah itu. Aku
mulai pesimis.
“Urutan kesepuluh, Sonia Lazuardi.”
DEG. Jantungku berdegup semakin
kencang. Urutan kesepuluh?? Aku berharap aku tak salah dengar.
Teman-teman sekelasku lebih terkejut
lagi. Sebagian ada yang salut denganku, dan sebagian juga ada yang berprasangka
buruk padaku. Mereka mengira nilaiku ini adalah hasil dari perbuatan curang.
Padahal, aku sama sekali tak berbuat curang. Aku hanya belajar lebih giat dari
sebelumnya. Aku berusaha keras untuk mendapatkan apa yang kumau, sebuah
keberhasilan.
“Hebat sekali, Sonia. Pasti
nyontek,” sindir Ena.
“Yah, kalau bukan dari hasil
menyontek, darimana lagi? Kenapa dia bisa berubah begitu?” Maya menatap sinis
diriku.
Sindiran mereka kuanggap angin lalu.
Hari ini Sabtu dan nanti malam Minggu. Aku tak sabar untuk SMS-an dengan Gama.
Kira-kira, nilainya berada di urutan keberapa?
Selain itu, aku juga menunggu
kata-kata motivasi darinya.
---***---
Eh??
Urutan pertama??
Dia
membalas SMS-ku. Iya, Sonia. Kamu sendiri
urutan ke berapa?
Alhamdulillah,
kesepuluh. Aku mengetik dengan cepat. Setelah itu, aku
segera mengirimkan SMS itu. Dia membalas dengan cepat.
Kesepuluh??
Kamu hebat!
Tanpa
sempat aku mengirimkan balasan, dia mengirimkan SMS lagi.
Aku
ada kabar baik dan kabar buruk, Sonia.
---***---
“Gama! Gamaaa!!!”
Pagi itu, aku berlari menghampiri
Gama yang hendak masuk ke kelasnya. Gama terlihat terkejut melihat sikapku yang
tidak biasa. “A..ada apa, Sonia?” tanyanya khawatir.
“Please,
Gama! Jangan pindah sekolah! Kamu satu-satunya temanku di sekolah
ini…kumohon jangan pergi..,” mataku berkaca-kaca. Perlahan, air mataku turun
membasahi pipi. “Bahkan kamu belum kasih tahu kabar baiknya…”
Gama malah tertawa. “Kabar buruknya,
aku pindah sekolah. Kabar baiknya, aku bohong.”
Aku hanya melongo. A..apa? “Gama!”
seruku kesal. Aku pun segera menyeka air mataku.
“Itu artinya kamu masih
membutuhkanku…,” ujarnya ge-er. “Oh ya, ada kabar baik lagi, nih.”
Dia menunjukkan sebuah novel. Di
situ, nama penulisnya tertera jelas : Gama Bintang Saputra. “Novel perdanaku,”
ujarnya. “Impianku hampir terwujud. Mungkin teman-temanku akan bangga.”
“Teman?” nadaku terdengar sinis.
“Mungkin mereka menjauhimu karena kamu terlalu fokus dengan ambisimu sekarang.”
Kulihat Gama tertunduk pelan. Aku
pun memikirkan kata-kataku tadi. “Ah, maaf, Gama. Aku terlalu sinis tadi. Aku
agak sensi mendengar kata ‘teman’.”
“Enggak apa-apa,” dia menatap
mataku. “Oh ya, hari ini Sabtu, kan?”
“Dan nanti malam Minggu…,”
sambungku.
“Kamu akan memberiku motivasi, kan?”
Gama tersenyum licik.
“Eh? Aku?”
“Kamu bisa, kan? Pokoknya, mulai
sekarang kamu yang ngasih aku motivasi!” dia terlihat memaksa. “Hidupkan malam
keajaiban itu dengan motivasi darimu!”
“Ta..tapi…”
Belum sempat aku melanjutkan
kata-kataku, Gama sudah menghilang ke kelasnya. Tiba-tiba, aku menyunggingkan
senyum. Baiklah.
---***---
Aku menyelesaikan kalimat
motivasiku. Kemudian, aku mengambil handphone
dan memotret kalimat yang kutulis tadi. Aku mengirimkan hasilnya ke Gama.
Sudah
sebulan aku menunggu motivasimu setiap malam Minggu. Tapi, kali ini giliranku.
Malam Minggu kali ini milikku. Dan kali ini tentang ambisi (lagi!). Jangan
sampai pertemanan kita kali ini dipisahkan oleh sebuah ambisi yang besar.
Tetapi, kita bisa menjadikan ambisi itu sebagai media untuk menjadi bijak, di
setiap rintangan yang kita hadapi saat berusaha meraihnya. Api yang berkobar di
sekitar lautan luas, ibarat ambisi yang berkobar di tengah luasnya hati untuk
membentuk sebuah pertemanan. Kamu temanku satu-satunya. Dengan malam penuh
motivasi itu, malam keajaiban. –Sonia.
TAMAT
Semoga postingan saya kali ini bermanfaat untuk kalian yang mencari Contoh Cerpen Remaja.Sekian terimakasih .Yang mau copas izin dulu ya lewat komen
Dapatkan Update Artikel Gratis!